Arsip Blog

Belajar Dari Dua Bocah TPA

Rabu siang ketika azan zuhur berkumandang, saya sedang mengurus administrasi di kantor Ummul Quro di jl. Gatot Subroto sehingga saya harus shalat di masjid didekat sana. Masjid yang sederhana tapi rapi. Dan yang menarik, di masjid tersebut ada sebuah layanan yang belum pernah saya temukan sebelumnya yaitu loker gratis. Jadi, pihak DKM menyediakan deretan loker-loker yang disertai dengan kunci-kunci yang menggantung. Sebelum shalat kita bisa menyimpan apa saja, menguncinya, dan membawa kuncinya untuk sementara kita shalat. Ide yang banyak diterapkan dimana-mana, tetapi baru kali ini saya temukan diterapkan disebuah mesjid, sungguh benar-benar bisa meningkatkan konsenrasi ketika shalat.

Nah, tetapi sebenarnya bukan itu yang mau saya bahas di tulisan kali ini. Saya ingin membahas tentang kisah ‘si proses’ dan ‘si tujuan’. Jadi, setelah shalat, saya memperhatikan dua bocah siswa TPA di pelataran masjid. Si adik, berusia sekitar tiga tahun, sementara abangnya sekitar empat tahun. Putih, ikal, mirip, baru habis mandi, ada bedak diwajah mereka, dan memakai baju seragam! Lucu kan? Belum lagi kalau anda mendengar pembicaraan mereka!

Nah, entah karena jajanannya terjatuh atau apa, tiba-tiba sang adik menangis, keras sekali. Abangnya yang lebih tua, spontan terpaksa berperan menjadi orang dewasa, dia merasa bahwa sebagai abang dia mendiamkan adiknya, ya, dia tahu bahwa itu kewajibannya! Tetapi apa mau dikata, dirinya sendiri juga masih bocah, manalah dia mengerti cara membujuk dan mendiamkan bocah yang menangis.

Akhirnya yang terpikirkan oleh si abang adalah mengangkat tangan kanannya, dan menutup mulut si adik kuat-kuat hingga tidak bisa bersuara. Dia memaksa. Memang tangisannya tidak terdengar, namun air matanya bertambah deras, mukanya memerah, dia juga kesulitan bernafas. Walaupun teriakan tangisnya tidak keluar dari mulutnya tetapi si adik masih menangis sebenarnya.

Nah, coba kita pelajari peristiwa tadi. Si abang, sebenarnya memiliki tujuan mulia. Hatinya tidak tega jika adiknya menangis dan dia merasa bertanggung jawab membuat tangisan adiknya terhenti. Tapi sayang, dia belum tahu caranya bagaimana. Dia tidak tahu bagaimana membujuk bocah yang menangis dengan benar, bagaimana mendiamkan bocah yang terisak. Wong, dia sendiri masih bocah. Yang dia lakukan adalah melakukan apa saja hasil yang diinginkan tercapai, tanpa ambil pusing cara itu benar atau tidak.

Kalau masih bocah sih, wajar melakukan kesalahan. Tetapi kita yang sudah tua, jangan lagi melakukan kesalahan seperti itu. Mari kita ambil pelajaran dari dua bocah tadi, bahwasanya tujuan yang mulia harus dilakukan dengan cara-cara yang mulia juga! Agar hasilnya maksimal dan membahagiakan. Tidak ada yang namanya mencuri untuk naik haji! Korupsi untuk menyumbang pak tani!

Satu hal lagi, jangan pernah memaksa sebuah proses. Biarkan berjalan sesuai waktunya. Ya, sabar menunggu hingga akhirnya.
Kesimpulannya, marilah melakukan segala tujuan mulia yang kita punya dengan proses yang benar. Dengan cara-cara yang benar. Sehingga hasilnya indah. Dan, bersabarlah sedikit jangan tergesa-gesa, tunggulah sampai pada masanya. Agar benar-benar indah pada waktunya.